Razia Khamr [Miras] Dalam Realitas Varian Keyakinan, Kultur, Dan Sosial

Kata Pengantar

            Sebagaimana kita ketahui – dan mesti kita yakini – bahwa ada beberapa redaksi hadis Rasulullah SAW yang secara eksplisit maupun implisit memuat perintah untuk mengentas khamr [minuman keras] dan kegiatan pemasarannya. Salah satunya adalah seperti pada hadis yang diangkat dalam pembahasan singkat berikut ini.
Minuman keras [miras] memiliki manfaat dan bahaya. Namun porsentase antara manfaat dan bahayanya bersifat beras sebelah. Bahaya dari miras tersebut lebih besar dari manfaat yang kita peroleh. Bukan hanya bahaya terhadap aktivitas biologis manusia, tetapi juga berpengaruh terhadap aspek perekonomian, keamanan, serta ketertiban masyarakat. Maka hadis Nabi Muhammad yang akan diketengahkan di bawah ini, yang mengandung indikasi perintah untuk menghapus kebiasaan konsumsi miras, dapat dikatakan sebagai langkah tepat untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkan oleh miras tersebut.
            Namun dalam upaya razia miras tersebut hendaknya memperhatikan beberapa aspek lain yang menjadi komposisi kehidupan sosial dalam masyarakat. Realitas masyarakat yang majemuk dan terdiri dari varian keyakinan dan kultur menjadi pertimbangan utama sebelum diadakan razia miras. Sehingga tidak terjadi benturan dalam aplikasi kerangka spiritual dengan kultur sosial dan budaya yang berbeda.
            Makalah singkat ini akan memaparkan sedikit analisa perihal razia miras dan beberapa hal yang harus diperhatikan, dengan mengangkat salah satu hadis Rasulullah SAW. Semoga bermanfaat.


                                                                                                            Penyusun










BAB II
PEMBAHASAN
a.      Redaksi Hadis
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ آتِيَهُ بِمُدْيَةٍ وَهِيَ الشَّفْرَةُ فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَرْسَلَ بِهَا فَأُرْهِفَتْ ثُمَّ أَعْطَانِيهَا وَقَالَ اغْدُ عَلَيَّ بِهَا فَفَعَلْتُ فَخَرَجَ بِأَصْحَابِهِ إِلَى أَسْوَاقِ الْمَدِينَةِ وَفِيهَا زِقَاقُ خَمْرٍ قَدْ جُلِبَتْ مِنْ الشَّامِ فَأَخَذَ الْمُدْيَةَ مِنِّي فَشَقَّ مَا كَانَ مِنْ تِلْكَ الزِّقَاقِ بِحَضْرَتِهِ ثُمَّ أَعْطَانِيهَا وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ الَّذِينَ كَانُوا مَعَهُ أَنْ يَمْضُوا مَعِي وَأَنْ يُعَاوِنُونِي وَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَ الْأَسْوَاقَ كُلَّهَا فَلَا أَجِدُ فِيهَا زِقَّ خَمْرٍ إِلَّا شَقَقْتُهُ فَفَعَلْتُ فَلَمْ أَتْرُكْ فِي أَسْوَاقِهَا زِقًّا إِلَّا شَقَقْتُهُ

Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yakni Ibnu Abi Maryam dari Dlomrah bin Habib dia berkata: Suatu ketika Rasulullah SAW pernah menyuruhku mengambil pisau. Aku pun mengambil untuk beliau. Pisau tersebut diasah, kemudian diberikan kepadaku dan berkata: “Berjalanlah di depankau dengan membawa pisau ini!”. Akupun melakukannya. Lalu beliau berangkat bersama para sahabatnya menuju pasar-pasar di kota Madinah. Di sana terdapat botol-botol khamr, yang diimpor dari Syam. Beliau pun mengambil pisau dari tanganku dan dengan sengaja memecahkan semua botol minuman khmar sendirian. Setelah itu beliau memberikan lagi pisau itu kepadaku dan memerintahkan para sahabatnya yang bersamanya untuk berjalan denganku dan membantuku. Beliau memerintahkanku untuk mendatangi semua pasar, sehingga tidak kutemukan satu botol khamr pun, kecuali kuhancurkan. Aku pun melaksanakan perintahnya dengan baik, dan tidak satupun kudapati botol khamr kecuali aku hancurkan.

b.      Takhrij Hadis
No.
Kitab Hadis
No. Hadis
Kitab [Bagian]
1
Musnad Ahmad
5889
Musnad al-Mukatstsirina Min ash-Shahabati
2
Muwatta’
55
Ath-Thaharah
3
Sunan ad-Darimi
18
Al-Muqaddimah
4
Shahih al-Bukhari
462
Ash-Shalah
5
Shahih Muslim
3831
Al-Asyrabah
6
Sunan at-Tirmidzi
942
Al-Janaizi ‘an Rasulillah
7
Sunan an-Nasa’i
102
Ath-Thaharah
8
Sunan Abu Daud
160
Ath-Thaharah
9
Sunan Ibn Majah
278
Ath-Thaharah wa Sunanuha

Kualitas: Syarif Marfu’[1]
c.       Identitas Perawi
i.
Nama
: al-Hakim bin Nafi’

Thabaqah
: Tabi’ at-Tabi’in

Kunyah
: Abu al-Yaman

Domisili
: Syam

Wafat
: 222 H di Hilwan

ii.
Nama
: Dhomroh bin Habib bin Suhaib

Thabaqah
: Tabi’in Tengah

Nasab
: az-Zabidiy al-Hamshiy

Kunyah
: Abu ‘Utbah

Domisili
: Syam

iii.
Nama
: Bakir bin Abdullah bin Abi Maryam

Thabaqah
: Tabi’in Senior

Nasab
: al-Ghusniy

Kunyah
: Abu Bakr

Domisili
: Syam

Wafat
: 156 H

iv.
Nama
: Abdullah bin Umar

Thabaqah
: Sahabat

Nasab
: al-Adawiy al-Quraisy

Kunyah
: Abu Abdurrahman

Domisili
: Madinah

Wafat
: 73 H


d.      Makna Mufrodat
مدية       [السكين]             : pisau
الشفرة                            : pisau besar
أرهف                            : menajamkan [mengasah]
الزقاق    [الطريق الضيق]   : gang [lorong]

e.       Konten Hadis dan Singkronisasi Terhadap Aspek Lain
Secara eksplisit hadis yang diajukan dalam pembahasan ini menunjukkan bahwa Rasulullah pernah melakukan sweeping terhadap penggunaan khmar [selanjutnya disebut minuman keras] di sekitar lingkungan beliau pada masa itu. Posisi alkohol sebagai salah satu yang diharamkan dalam kerangka hukum Islam [one thing forbidden], kita mendapati dalil-dalil pengharaman miras tersebut dalam kuantitas yang banyak, antara lain:
Ø  Surah Al-Baqarah [2] ayat 219
Ø  Surah Al-Maidah [5] ayat 90-91
Ø  Surah An-Nisa’ [4] ayat 43
Ø  Serta beberapa hadis Rasulullah seputar pelarangan mengkonsumsi minuman keras [miras]
Sebagaimana kita ketahui, miras – entah itu tequilla, whisky, cognac, jenever, anggur (termasuk champagne), gazeuse, brendi, mension, bir, arak, baram, tuak, topi miring, dan lain sebagainya – memiliki pengaruh negatif terhadap beberapa sisi kehidupan manusia. Meskipun dari sudut pandang lain miras itu juga mempunyai manfaat, namun porsentase perbandingan antara manfaat dan pengaruh negatifnya dapat dikatakan timpang sebelah. Pengaruh negatifnya lebih banyak dan lebih tampak daripada manfaat yang bisa kita ambil. Di antara pengaruh miras itu antara lain:[2]
v  Menimbulkan reaksi pada fungsi selaput lendir
v  Menimbulkan pembakaran seperti cairan yang menyebabkan muntah-muntah
v  Memperlambat produksi piton
v  Merusak peredaran darah
v  Melemahkan imunitas kesehatan
v  Masuk penjara
Sebuah Analisa Sosial dan Budaya
Diskursus singkat ini sendiri tidak fokus pada kajian pendalaman dan validitas dalil-dalil pelarangan [pengharaman] miras, tetapi berkosentrasi pada perihal razia miras  sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah seperti pada hadis di atas. Razia khmar [terlepas dari istilah yang digunakan pada masa Nabi], berarti melakukan tindakan yang berpengaruh pada peniadaan miras sendiri. Entah itu berupa penggerebekan maupun penyergapan terhadap konsumen miras.[3] Kajian mengenai razia miras ini sendiri tidak hanya mencakup aspek teologis Islam yang kita pahami, tetapi harus ada singkronisasi terhadap aspek sosial yang berkembang di sekitar kita, aspek teologis selain Islam, serta kebudayaan masyarakat yang ada.[4]
Hadis di atas selain menggambarkan keharaman miras, juga mendeskribsikan bahwa Rasulullah SAW menghendaki adanya razia terhadap pengguna-pengguna miras yang ada di sekitar kita. Razia ini sendiri merupakan tindakan preventif mengingat ganasnya bahaya yang ditimbulkan oleh minuman keras sebagaimana disebutkan tadi. Dengan catatan razia miras tersebut mesti dikondisikan dengan dinamika yang ada di sekitar kita.
Dalam realisasi ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengharamkan miras, dalam perkembangannya mengalami benturan dengan aspek sosial dan budaya di beberapa daerah. Islam telah melarang minuman keras karena berpengaruh negatif. Tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa di beberapa daerah ada kebudayaan yang membolehkan [bahkan mewajibkan] mengkonsumsi minuman keras. Di Jepang, masyarakat kerajaan memiliki tradisi meminum osake [salah satu jenis minuman keras], sementara di Papua dan beberapa daerah bagian timur di Indonesia juga memiliki tradisi yang sama. Dalam pandangan mereka, minuman beralkohol merupakan pengusir dingin. Bahkan ada beberapa kalangan yang mengharuskan mengkonsumsi minuman keras pada saat acara adat dan lain sebagainya. Maka terjadilah benturan ketika kita hendak mengaplikasikan hadis tentang razia miras tadi, antara aktualisasi nilai teologi dan kokohnya tradisi yang telah terbentuk sejak lama.
Jika pada masa Nabi kita mendapati otoritas hukum Islam dalam keseharian masyarakat, maka pada masa sekarang, khususnya di Indonesia, kita telah menghadapi dualisme prinsip dalam hal hukum yang berlaku, yaitu prinsip Islam sebagai ajaran mayoritas dan prinsip Pancasila yang mengandung varian keyakinan. Jika dalam Islam kita menemukan dalil yang melarang miras, maka dalam Kristen Katolik contohnya, kita tidak mendapati adanya larangan konsumsi miras.[5] Inilah beberapa halangan ketika kita hendak menghapus konsumsi miras di negeri ini.
Selain itu, razia miras sebagaimana perinah Rasulullah pada hadis tadi, juga mengalami kendala lain. Memang, di Indonesia telah ada beberapa pasal Undang-Undang yang mengatur pelarangan konsumsi miras karena mengancam stabilitas keamanan, seperti pada KUHP pasal 536, 538, dan 539. Namun di sisi lain juga ada kebijakan Undang-Undang yang terkesan membolehkan adanya kegiatan pemasaran miras di negeri ini, seperti pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1963 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1962 Tentang Pemungutan Sumbangan Wajib Istimewa Atas Beberapa Jenis Barang (Lembaran Negara Tahun 1962 NO. 49), Menjadi Undang-Undang.
Fakta-fakta tentang benturan di atas semestinya menarik perhatian kita untuk mengkaji lebih jauh tentang solusi realisasi hadis Nabi tadi. Aplikasi hadis tersebut mesti dilakukan, tetapi tidak boleh menimbulkan permasalahan baru yang mengancam kenyamanan hidup. Orientasi razia miras adalah untuk menghapus konsumsi miras yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat [kamtibmas]. Tetapi alangkah lucu ketika razia yang sporadis justru menimbulkan perpecahan umat.

f.       Kesimpulan
Kesimpulan terhadap hadis di atas adalah berdasarkan kontekstualisasi teks dengan kondisi yang kita hadapi sekarang. Aktualisasi hadis yang hermeneutis mesti ditempuh sehingga tujuan dari hadis tersebut benar-benar terwujud tanpa timbul crush dalam kehidupan umat.
v  Sebagai pengikut yang setia, hadis Rasulullah di atas tetap harus diwujudnyatakan, dengan pertimbangan karena miras memiliki pengaruh yang sangat buruk terhadap eksistensi kehidupan.
v  Dalam alur aplikasinya, mesti melihat aspek lain yang berkembang. Razia miras tidak boleh represif. Ditakutkan razia yang represif akan berbentur dengan tradisi yang menempatkan miras sebagai salah satu unsur budaya mereka. Pendekatan yang humanis dan persuasif mesti dilakukan dalam upaya razia miras ini. Hal ini dilakukan ketika melakukan razia miras di tengah lingkungan yang memiliki tradisi tersebut.
v  Sementara secara garis besar, razia miras yang telah dilakukan oleh aparat keamanan di negeri ini patut diapresiasi sebagai langkah yang positif. Karena turut mengurangi ancaman terhadap keamanan hidup.
v  Pasal yang mengatur minuman keras di negeri ini mesti diperhatikan dan dipertegas. Sehingga arus pemasaran miras bisa dihentikan.
v  Kesimpulan yang paling penting dari analisa penerapan hadis ini dalam kehidupan nyata adalah sebagai berikut:
Aplikasi hadis razia miras ini harus mempertimbangkan kerangka trias balancing [sebagaimana diajukan oleh M. Tolchah Hasan]. Bahwa realisasi poin-poin yang ada dalam kerangka spiritual semestinya dikondisikan dengan poin-poin dalam aspek sosial dan intelektual.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 2007
CD Room Mausuah
Djam’annuri [ed.], Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000
Lidwa [apl.]
Maktabah Syamilah
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
Syaikh ‘Ali al-Jurjawi, Hikmah di Balik Hukum Islam, Jakarta: Mustaqim, 2003
*dan referensi lain.




[1] Terdapat problem dalam kualifikasi perawi. Hadis ini dikategorikan sebagai hadis syarif marfu’ [sebagaimana disebutkan dalam CD Room Mausuah], namun ternyata salah satu perawinya, yaitu Bakir bin Abdullah bin Abi Maryam, adalah termasuk perawi yang dha’if. Hal ini sebagaimana komentar para ulama terhadapnya, di antaranya komentar Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in. [lihat penjelasan ini dalam Lidwa.com]
[2] Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah di Balik Hukum Islam, Jakarta: Mustaqim, 2003, hal. 345-357
[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, razia dimaknai sebagai penggerebekan/penyergapana secara mendadak.
[4] Dalam kajian Antropologi terdapat istilah kepribadian dan kebudayaan masyarakat
[5] Djam’annuri (ed.), Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, hal. 90, tentang pokok ajaran Katolik






*Makalah ini merupakan tugas admin dalam sebuah mata kuliah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar