ARTIKEL KEBANGSAAN

Galau


            Ada keresahan ketika kita mengikuti setiap perkembangan penyelesaian kasus korupsi M. Nazaruddin. Persoalan hukum yang menyeret beberapa nama besar ini berubah menjadi sebuah mata rantai persoalan yang teramat pelik dan melibatkan banyak orang. Akibatnya, begitu banyak persoalan lain yang terbengkalai dan tidak terurus. Seperti sebuah istilah publik yang berkembang belakangan, masyarakat Indonesia sedang dirundung perasaan galau dan bimbang.
            Kegalauan dan kebimbangan yang dialami oleh masyarakat sebenarnya berangkat dari rangkaian kebijakan yang menyeleweng dari hasrat dan orientasi hidup rakyat kecil. Seperti kita ketahui, secara tertulis dan lisan publik kita sangat mendambakan kehidupan yang baik dan sejahtera. Dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945 dan butir-butir Pancasila, ditemui penjelasan tentang hasrat untuk hidup layak dalam berbagai aspek kehidupan. Layak secara ekonomi, pendidikan, spiritual, dan sebagainya.
            Kegalauan seperti ini terbukti menimbulkan kecacatan pada segi kepercayaan publik. Keteledoran dan kelalaian pemerintah, pejabat publik, serta pihak-pihak terkait memicu berkurangnya kepercayaan publik terhadap kinerja dan komitmen pihak-pihak tadi. Realita yang sering disebut sebagai krisis kepercayaan publik ini secara tidak langsung akan mengindikasikan problem-problem kehidupan pada aspek kehidupan yang lainnya. Masih segar di ingatan kita mengenai krisis kepercayaan publik terhadap rezim Orde Baru. Krisis kepercayaan yang memuncak pada peristiwa reformasi ini merupakan bahan refleksi bagi kita, bahwa ternyata kebijakan yang tidak arif justru menimbulkan reaksi kontras dari masyarakat luas, yang seringkali berujung pada peristiwa chaos yang lebih luas dan beresiko.
            Ada begitu banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan oleh pejabat dan elit politik kita. Hal ini bersifat wajib karena ditakutkan jika PR tersebut tidak segera dituntaskan, justru akan semakin memupuskan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kita. Sederhananya, krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan politikus kita dikongkritkan dalam satu sikap: masyarakat tidak lagi meyakini bahwa pemerintah kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa tercinta ini. Dapat kita saksikan bagaimana suara-suara kritis dilontarkan melalui beberapa media. Teriakan-teriakan lantang menggema di setiap demonstrasi dengan mengusung kritik terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Kita juga bisa menengok hasil survei yang menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah begitu menurun drastis.  
            Sayangnya, fenomena krisis kepercayaan publik ini tidak mendapat respon yang positif dari pejabat kita. Suara-suara sumbang acapkali mengemuka ketika seorang politikus menyampaikan argumen dan janjinya untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Pejabat kita memang seringkali menawarkan teori-teori problem solving yang dapat kita saksikan di stasiun-stasiun televisi kita. Namun penawaran-penawatan tersebut masih dalam tataran teoritis yang bersifat retoris, dan belum menyentuh tataran implementasi.
            Selain sikap negatif yang ditampilkan oleh pejabat terhadap fenomena krisis kepercayaan publik, ada lagi sikap yang sangat tidak pantas diteladani dari para pejabat kita. Sikap tersebut adalah perang saudara yang muaranya turut memicu berkurangnya rasa percaya masyarakat terhadap pejabat kita. Masih terngiang di ingatan kita tentang “adu jotos” di sidan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu silam. Inilah persoalan internal yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh pejabat-pejabat kita. Kekompakan dalam melangkah menjadi salah satu sisi yang tidak dimiliki. Kekompakan tersebut terbantaikan oleh pusaran egosentris dan kepentingan golongan.
            Tulisan ini ditutup dengan saran konstruktif kepada pejabat kita, jangan sampai kepercayaan publik terkubur oleh tindak tanduk yang tidak layak ditontonkan. Kepercayaan publik merupakan elemen yang sangat penting dalam langkah penyelesaian pekerjaan rumah kita. Masyarakat kita tidak ingin fenomena “amputasi aspirasi” terulang terus menerus dalam perjalanan pemerintahan kita. Masyarakat juga tidak mau terlalu berlama-lama berada dalam perasaan galau dan bimbang.



Oleh: Pangeran S Naga P
            Mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar