ARTIKEL KEBANGSAAN


Berteriak Dengan Tulisan

            Respon terhadap dinamika kehidupan di negeri ini terbukti sangat beraneka ragam. Entah itu dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, maupun aspek kehidupan yang lainnya. Reaksi dengan nada protes terhadap kebijakan yang timpang dan tidak memihak kepada rakyat kecil merupakan respon yang paling menonjol, yang dituangkan dalam varian gerakan kongkrit. Hal ini disebabkan oleh kebijakan negatif yang mendominasi langkah-langkah yang ditelurkan oleh pemerintah. Mulai dari respon dalam bentuk demonstrasi, kritik tulisan, hingga bantahan verbal disampaikan kepada para politisi, pejabat elit, dan unsur pemerintah yang lain.
            Adalah sebuah hal yang menarik ketika kita menengok lebih dalam aktifitas reaksi masyarakat dengan media tulisan. Kita mendapati beberapa tulisan dalam bentuk artikel, puisi, maupun bentuk tulisan lainnya yang mencoba memberikan “sentilan” berhubungan dengan perkembangan beberapa aspek kehidupan berbangsa yang terbukti semakin memburuk. Acapkali kita menemui tulisan yang menohok egoisme para politisi dengan menyajikan argumentasi dan analisa membangun dalam tulisan-tulisan tersebut.
            Salah satu sosok yang sering berteriak keras di telinga para politisi dengan media tulisan adalah mahasiswa. Sosok yang didaulat sebagai agen perubahan (agent of change) ini termasuk sosok yang intens menuangkan gagasan dan kritik sosial mereka. Terlepas dari pertanyaan apakah kritik dengan menulis itu wajib (obligated) atau tidak, tradisi menulis di kalangan mahasiswa sendiri telah tumbuh dan berkembang sejak lama. Kita mengenal sosok-sosok populer seperti Soe Hok Gie, Tan Malaka, Soekarna, dan Bung Hatta yang mampu menghadirkan keluarbiasaan dengan tulisan-tulisan mereka.
            Realita bahwa menulis di kalangan mahasiswa telah lahir sejak lama, memunculkan skematika pemikiran bahwa mahasiswa selayaknya menuangkan tanggapan, kepekaan, serta kepedulian sosialnya dalam bentuk tulisan. Memang tidak bersifat wajib dan mengikat, namun sepatutnya mahasiswa akrab dengan dunia menulis. Bramma Aji Putra dalam Menembus Koran; Cara Jitu Menulis Artikel Layak Jual, sempat mengemukakan bahwa ada tiga bentuk kejahatan yang tidak layak dilakukan oleh mahasiswa, yaitu tidak suka membaca, tidak suka berdiskusi, dan tidak suka menulis.
            Tradisi menulis di kalangan mahasiswa bukan hanya berkaitan dengan merangkai kalimat demi kalimat, tetapi juga harus memperhatikan orientasi dari aktifitas menulis itu sendiri. Respon sosial dengan media tulisan adalah wujud kepedulian dan hasrat untuk menghapus kesenjangan sosial dan ekonomi. Tulisan seorang mahasiswa harus mampu menjawab problematika bangsa, seperti masalah kemiskinan, korupsi, dan lain-lain. Inilah mengapa menulis menjadi sesuatu yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang mahasiswa sebagai agen perubahan.
            Dalam perjalanannya tradisi menulis di kalangan mahasiswa mengalami dinamika atau pasang surut. Bahkan belakangan ini animo mahasiswa terhadap aktifitas menulis tergolong masih sangat minim. Penulis-penulis yang muncul dari kalangan mahasiswa masih bisa dikalkulasikan dengan jari. Fakta ini menimbulkan ketakutan akan kurangnya kepekaan mahasiswa terhadap ketimpangan yang terjadi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Merupakan sebuah keresahan apabila seorang mahasiswa hanya berkosentrasi dengan penuangan ide dan gagasannya dalam bentuk makalah, lalu disetorkan kepada dosen  dan dipersentasikan begitu saja di depan peserta didik lainnya. Gagasan-gagasan kritis mahasiswa seharusnya ditumpahkan dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan kepada khalayak sehingga ide-ide brilian yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut mampu diangkat menjadi wacana dan pemikiran publik.
            Reformulasi dan reaktualisasi konsep mahasiswa menulis menjadi terma yang patut diketengahkan pada saat ini. Aktifitas menulis dirumuskan kembali sebagai wadah bagi mahasiswa untuk berteriak sekeras mungkin kepada para elit politik dan pejabat lainnya. Aktualisasi kegiatan menulis di kalangan mahasiswa memiliki urgensi dan posisi penting dalam upaya menyadarkan para patih negeri (politisi) dari kekhilafan mereka memegang roda kehidupan bangsa ini.
            Budaya korupsi, silat lidah, penindasan hak asasi manusia, serta pengkerdilan potensi intelektual menjadi beberapa tema yang perlu dikritisi oleh mahasiswa melalui tulisan mereka. Belum lagi kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah yang justru tidak mengangkat asas kearifan. Ketimpangan hukum dan kegemaran menyembunyikan kebenaran ketika ada penyelesaian sebuah kasus juga merupakan pekerjaan rumah yang harus disinggung dalam tulisan-tulisan para mahasiswa.
            Dewasa ini, media tulisan menjadi terobosan dan cara yang menjanjikan keefektifan yang maksimal dalam menyalurkan aspirasi dan kritik. Hal ini disebabkan oleh tidak efektifnya metode demonstrasi pada saat sekarang ini. Aspirasi dan teriakan yang dilantangkan oleh para demonstran kini tidak lagi mendapat respon maksimal dari politisi kita. Dapat kita saksikan betapa suara-suara kritis para demonstran terpental jauh dan tidak mampu menembus tembok keangkuhan para politisi. Memang ada beberapa politisi yang merespon suara-suara tersebut, namun jumlah mereka dikubur dalam-dalam oleh angka mayoritas dan dominasi politisi yang tuli (tunarungu) terhadap terikan-teriakan para demonstran. Inilah yang mengangkat posisi aktifitas menulis sebagai salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengkritik tingkah laku dan tindak tanduk para pejabat yang menyeleweng.
            Kini mahasiswa harus berteriak lebih keras lagi melalui tulisan-tulisan konstruktif mereka. Gagasan-gagasan cemerlang yang disajikan diharapkan menjadi sebuah upaya yang mampu menghindarkan kita dari kebobrokan dan kemunduran aspek-aspek kehidupan kita. Konsep mahasiswa menulis sendiri diusahakan bisa mengurangi fenomena amputasi aspirasi yang belakangan semakin ramai dilakukan oleh wakil-wakil kita di legislatif. Selamat berteriak dengan tarian-tarian aksara yang kritis-konstruktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar