Idul Adha dan Totalitas Dalam Dedikasi

Umat Islam setidaknya memiliki dua hari raya terbesar dalam setahun. Dua momen spesial tersebut adalah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sebagai salah satu hari besar yang memiliki posisi istimewa dalam siklus relasi religius umat Islam, Idul Adha juga mengandung satu unsur yang sangat istimewa, yaitu ritual penyembelihan hewan qurban. Dalam penanggalan Islam (penanggalan Hijriyah) Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, atau sekitar dua bulan lebih setelah Idul Fitri.
Tahun ini Idul Adha kembali hadir sebagai sebuah perayaan di tengah carut marutnya beberapa aspek kehidupan bangsa ini. Jika kita cermati, peringatan tahunan ini memiliki muatan hikmah yang sangat banyak. Dari sekian pelajaran tersebut, ada beberapa pelajaran yang sangat menonjol. Pertama, pelajaran dari aspek pengaruh terhadap roda perekonomian,  kedua, pelajaran dari segi religius, di mana Idul Adha didaulat sebagai momen untuk mempererat silaturahmi, dan ketiga, pelajaran dari sisi historis lahirnya ritual penyembelihan hewan qurban pada hari raya Idul Adha tersebut. Dapat kita perhatikan perubahan yang tampak ketika Idul Adha, yaitu semakin sibuknya para pelaku ekonomi pasar, seperti pelaku jual beli sapi dan lain-lain.

Sementara dari sisi sejarah (histori) lahirnya upacara penyembelihan hewan qurban tersebut terdapat kandungan pelajaran yang sangat berharga. Deskripsi asal muasal adanya tradisi qurban tergambarkan dalam berbagai literatur yang berbicara mengenai Idul Adha. Nabi Ibrahim yang dikenal sangat patuh kepada Tuhannya, diajukan sebuah titah oleh Allah, berupa perintah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Perintah yang dalam analisa kongkrit tersebut adalah perintah “gila”, kemudian dikonsultasikan kepada Nabi Ismail.  Nabi Ismail yang pada saat itu menyetujui perintah tersebut, mungkin tidak sempat berpikir bahwa kemungkinan besar tidak akan ada pada masa sekarang manusia di muka bumi ini yang menempuh jawaban tersebut apabila disodorkan perintah semacam itu. Nabi Ismail berargumen bahwa keputusan tersebut merupakan sebuah wujud kepatuhan kepada perintah Sang Pencipta. Dengan mantap keduanya melaksanakan perintah itu, meskipun pada akhirnya posisi Nabi Ismail sebagai qurban digantikan oleh seekor qibas.

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua orang yang beragama dan memiliki Tuhan. Mereka  taat, loyal, dan berdedikasi tinggi sebagaimana sikap mereka yang mematuhi semua perintah dari Tuhan mereka. Qurban adalah salah satu wujud kongkrit dari dedikasi yang mutlak  Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Sebagai umat yang seringkali mengaku sebagai hamba yang taat, maka Idul Adha ini seharusnya diposisikan sebagai momentum untuk meningkatkan upaya meneladani sikap Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yaitu totalitas dalam dedikasi.

Totalitas dalam dedikasi, merupakan sebuah term yang menjadi jawaban atas semua persoalan kehidupan individu dan bermasyarakat. Jika dikaitkan dengan situasi sosial yang terjadi sekarang, di mana sebagian besar orang (baca: pejabat) di bumi pertiwi ini belum bisa melepaskan diri dari pusaran sikap egosentris. Selalu ada pamrih yang dijadikan standar dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan rakyatnya. Dedikasi, sebagaimana dalam sebuah iklan produk rokok, mengalahkan segalanya. Tidak dapat dipungkiri, mayoritas pelaksana kekuasaan di negeri ini telah melupakan konsep dedikasi, dan lebih parah lagi ketika mereka mengubah rakyat jelata menjadi sejenis marionet (boneka wayang) yang dapat dikendalikan lantaran tidak memiliki daya lebih dalam hal kekuasaan atau kekayaan. Menelusuri totalitas Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam dedikasi mereka, dapat kita jadikan sebagai cerita yang mengandung hikmah luar biasa.  Normalnya, totalitas dalam dedikasi mengalahkan karakter seseorang yang ingin menjelma menjadi seorang mastery (sempurna) namun dibarengi dengan sikap egomania. Karena totalitas dalam dedikasi selalu disertai oleh sikap progresif, loyalitas tinggi, dan tidak setengah-setengah dalam pengabdiannya. Semoga aplikasi hikmah Idul Adha dan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika berkurban mampu menjawab semua problematika kebangsaan yang menjamur di negeri ini.


Oleh: Pangeran S Naga P
            Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam
            UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

*dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar