Analisa
Problematika Bangsa
Semakin
larutnya penyelesaian kasus korupsi Wisma Atlet kembali memaksa masyarakat
Indonesia hanyut dalam realita sosial, ekonomi, dan beberapa aspek kehidupan
yang memburuk. Upaya penyelesaian yang molor disebabkan oleh munculnya
berbagai fakta hukum yang entah merupakan sebuah kesengajaan maupun hanya
sekedar kebetulan belaka. Kasus Wisma Atlet dengan salah satu tersangkanya M.
Nazaruddin, hanyalah sebuah contoh [sampel] gambaran betapa kita telah kehilangan
pejabat dengan idealitas kinerja yang dapat diandalkan.
Pengentasan
beberapa kasus-kasus kebangsaan di negeri ini memang penuh dengan kontroversi
dan sanggup melahirkan berbagai spekulasi dan analisa. Selain itu, tidak bisa
dipungkiri bahwa upaya penyelesaian problematika tersebut juga melahirkan
sejumlah “kejutan”. Dalam sebuah analisa sederhana, penyelesaian berbagai
problem bangsa yang seringkali menemui jalan buntu ini setidaknya disebabkan
oleh dua hal. Pertama, masalah-masalah tersebut “didesain” dalam skala
besar. Sehingga upaya penyelesaiannya pun membutuhkan kerangka pemikiran yang
luas. Semua pihak tidak dapat menafikan bahwa bangsa dan masyarakatnya
belakangan ini acapkali menemui masalah-masalah yang tidak dapat dientaskan
dalam waktu singkat. Sebut saja kasus Bank Century dan luapan lumpur Lapindo
yang hingga saat ini masih menyisakan trauma psikologis dan ekonomi bagi
masyarakat.
Kedua, masalah-masalah yang
sedang kita hadapi melibatkan orang-orang besar sebagai “tokoh” pemerannya.
Kita harus mengakui bahwa banyak tokoh-tokoh besar yang berpartisipasi, bahkan
menjadi pemeran utama dalam lahirnya sebuah problematika yang muaranya pasti
menyengsarakan rakyat. Kita juga harus menyadari bahwa trouble maker
dari problem-problem tersebut adalah sosok-sosok yang lahir dari rahim sebuah
partai politik. Ternyata sebagian besar partai politik pada masa kini bersifat
temporal dalam menyerukan kebaikan. Faktanya, janji-janji kemakmuran hanya
berfungsi sebagai penghantar kekuasaan serta pemulus mendapatkan sebuah kursi.
Sehingga banyak kalangan yang menilai bahwa banyak partai politik yang gagal
dalam mencetak kader dan sosok yang benar-benar peduli terhadap bangsa ini.
Sajian fakta yang menggambarkan
sering terlambatnya pengentasan problem kebangsaan ini menunjukkan beberapa hal
penting. Keseriusan dan kepekaan dalam menyelesaikan masalah kini menjadi hal
yang sangat jarang kita temui. Acapkali kita mendapati fenomena “dehidrasi
kinerja” di sekitar pejabat dan elit politik kita. Masyarakat yang begitu merindukan
keadilan hukum harus menggaruk kepala ketika mendengar beberapa informasi atau
berita yang kontras dalam satu periode. Secara bersamaan seorang pencuri sandal
dihukum penjara bertahun-tahun, sementara koruptor yang menghabisi begitu
banyak uang rakyat hanya menerima hukuman beberapa bulan penjara, bahkan ada
juga yang divonis bebas. Terlepas dari model pasal dan hukum yang digunakan,
perbedaan vonis semacam ini melahirkan konsep pandangan bahwa hukum di negeri
ini ternyata mudah diutak-atik. Hal demikian jika kita memiliki nama,
kekuasaan, dan kekayaan.
Kini kita harus menerima kenyataan
yang sangat pahit. Dimana sebagian besar aspirasi rakyat kecil “diamputasi”
begitu saja di bawah telapat egoisme yang sangat tinggi dari sebagian besar
pejabat dan elit politik kita. Kepentingan individu dan golongan mengalahkan
keluhuran fungsi primordial mereka. Tugas mereka sebagai penyalur aspirasi
masyarakat tidak lagi berjalan pada rel yang semestinya, namun telah bergeser
menjadi orang yang memposisikan ego sebagai orientasi akhir dari karir
politiknya.
Begitu banyak kebingungan,
keresahan, kejutan, dan kejengkelan jika kita terus mencermati kasus-kasus
serta upaya penyelesaiannya di negeri ini. Selain itu kita juga harus menunggu
sangat lama jika kita mengharapkan terbentuknya masyarakat yang sejahtera.
Semua karena aspirasi masyarakat tentang keluhan dan kondisi mereka tidak lagi
sampai pada forum para wakil rakyat, karena diamputasi oleh egoisme para wakil
itu sendiri. Yang seringkali kita saksikan dalam forum para wakil rakyat adalah
pertengkaran dan saling mempertahankan kepentingan masing-masing.
Oleh: Pangeran
S Naga P
Mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar