Makalah Tentang Konsep Tarikh al-Mutun

TARIKH AL-MUTUN

Hadits adalah teks normatif kedua setelah al-Qur’an yang mewartakan prinsip dan doktrin ajaran Islam. Sebagai teks kedua (the second teks), hadits tidaklah sama dengan al-Qur’an dalam beberapa aspek, seperti dalam tingkat kepastian teks (qathi al-wurūd), maupun pada taraf kepastian argumen yang diajukan (qathi al-dalālah). Kenyataannya, hadits dihadapkan pada fakta tidak adanya jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin kepastian teks, sebagaimana yang dimiliki oleh al-Qur’an. Konsep ini kemudian menjadi rahim lahirnya beberapa disiplin ilmu yang dibuat secara “swadaya” oleh para ahli.[1] Namun ada juga beberapa aspek yang memiliki kesamaan antara kajian al-Qur’an dan hadits, yaitu aspek historisitas. Sederhananya, setiap teks yang disampaikan oleh al-Qur’an dan hadits selalu memiliki sejarah lahirnya teks tersebut. Sehingga ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa dalam proses kerjanya ilmu tarikh al-mutun serupa dengan kerja ilmu asbabun nuzul  dalam kajian teks ayat al-Qur’an. Ilmu tarik al-mutun juga memiliki kesamaan dengan asbabul wurud hadits. [2]


[1] Lihat Kritik Matan Hadits karangan Drs. Hasjim Abbas
[2] Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddiqy dalam Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, jilid II, hal. 302

1.      Definisi Tarikh Al-Mutun
Tarikh al-mutun merupakan disiplin ilmu yang membahas tentang sejarah matan-matan hadits Nabi Muhammad SAW. al-Mutun adalah jamak dari al-Matn. Pengertian al-Matn sendiri dalam kerangka etimologi adalah punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi. Matn kitab berarti yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan penjelasan. Matn dalam ilmu hadits adalah: mā yantahiy ilayhi as-sanad min al-kalām, yakni: Sabda Nabi yang disebut setelah sanad, atau penghubung sanad, atau materi hadits, seperti ungkapan: tsalātsun man kunna sampai pada: an yuqdzafa fi an-nār.[1] Dengan kata lain matn adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya. Jadi yang dimaksud dengan ilmu tarik al-mutun adalah disiplin ilmu yang mendalami serta berkosentrasi pada sejarah kapan munculnya hadits Nabi Muhammad SAW.

2.      Obyek Ilmu Tarikh Al-Mutun
Untuk menetapkan poin-poin yang menjadi obyek dari disiplin ilmu tarikh al-mutun, kita dapat menengok pengertian dari tarikh al-mutun itu sendiri. Definisi tersebut di atas menetapkan hikayat sejarah satu teks matan hadits serta matan itu sendiri sebagai obyek atau sasaran kajian. Titik perbedaannya dengan asbabul wurud hadits kemudian menjadi tampak. Asbabul wurud lebih berkosentrasi pada motif atau latar belakang yang mendorong lahirnya sebuah hadits.

3.      Sekilas Tentang Sejarah Permulaan Terjadinya Hadits
Salah satu pertanyaan substantif dalam kajian tarik al-mutun adalah tentang kapan pertama kali Nabi mengeluarkan sebuah hadits. Para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai kapan permulaan terjadinya hadits. Sebagian ulama berpendapat, hadits Nabi mulai terjadi pada masa kenabian (al-nubuwwah). Sifat-sifat luhur pribadi Nabi yang tampak sebelum masa kenabian diposisikan sebagai sebuah anutan atau teladan. Adapun aktivitas Nabi sebelum masa kenabian dan tidak dicontohkan lagi pada masa kenabian, misalnya kegiatan menyepi (al-tahannus) di Gua Hira, tidak dijadikan sebagai anutan. Sebagian ulama lagi menyatakan, hadits Nabi telah terjadi sebelum dan dalam masa kenabian.[2] Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama karena:
*      Perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk meneladani dan menaati Muhammad adalah dalam kedudukan Muhammad sebagai utusan Allah. Yakni ketika Muhammad dalam masa kenabian.
*      Sifat-sifat luhur Muhammad yang tampak sebelum masa kenabian tidak harus disimpulkan bahwa perintah mengikuti jejaknya yang berlaku sejak sebelum masa kenabian. Sebab, keluhuran budi pribadi Muhammad sebelum masa kenabian tetap berlanjut dan terpelihara pada masa kenabiannya.
*      Kegiatan Nabi sebelum masa kenabian ada yang tidak diamalkan lagi pada masa kenabian. Misalnya menyepi di Gua Hira. Kegiatan tersebut tidak untuk diteladani oleh umat Islam di kemudian hari. Setidaknya perbuatan itu untuk diteladani niscaya Nabi telah memberikan petunjuk kepada para sahabat untuk melakukannya sebagai prosedur atau langkah-langkah menyepi tersebut. Meskipun demikian, berita mengenai kegiatan menyepi itu merupakan bagian dari hadits Nabi juga. Karena sekalipun kegiatan itu terjadi sebelum masa kenabian dan tidak untuk diteladani, tetapi hal itu ada kaitannya dengan proses pengangkatan Muhammad sebagai Nabi.
*      Berita yang berkenaan dengan diri Nabi Muhammad banyak termaktub dalam kitab-kitab sejarah, tafsir, dan hadits. Menurut Ibn Taymiyyah, apa yang termuat dalam kitab-kitab hadits adalah berita tentang diri Nabi, khususnya yang terjadi pada masa kenabian. Pernyataan Ibn Taymiyyah ini memberikan isyarat bahwa apa yang disebut dengan hadits Nabi adalah berita tentang Nabi yang terjadi pada masa kenabian.

4.      Seputar Waktu-Waktu Dikeluarkannya Sebuah Hadits
Beberapa waktu yang menjadi saat Nabi mengeluarkan sebuah teks hadits adalah sebagai berikut:[3]
*      Majlis-majlis Rasul SAW.
Seluruh majlis Rasul SAW. merupakan majlis ilmu dan fungsi lainnya. Rasul SAW. selalu memberikan waktu yang tepat untuk memberikan pengajaran kepada para sahabat. Pertemuan atau kegiatan mengajar itulah yang berpotensi Nabi mengeluarkan sebuah redaksi hadits.
*      Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasul SAW.
Hal ini seperti terjadi pada sejarah keluarnya hadits Laisa minna man ghossysya, dimana dijelaskan bahwa hadits ini terjadi ketika Rasul SAW. sedang berjalan di pasar.
*      Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin
Setiapkali para sahabat mendapatkan sebuah permasalahan, mereka selalu menanyakan jalan keluarnya kepada Rasul, kemudian Rasul mengeluarkan fatwa berupa teks atau naskah hadits.
*      Berbagai peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh para sahabat, bagaimana Rasul melaksanakannya.

5.      Metodologi Ilmu Tarikh al-Mutun
Dalam kajian tarikh al-mutun, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui sejarah kemunculan sebuah teks hadits. Pertama, pendataan teks-teks hadits shahih atau matan-matan hadits yang benar-benar bersumber dari Nabi. Kedua, penelitian sejarah, dalam hal ini selalu bersinggungan dengan disiplin asbabul wurud sebuah hadits. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan antara unsur-unsur yang memiliki andil dalam kelahiran sebuah matan hadits, seperti latar belakang, waktu, tempat, serta sahabat yang menerima matan tersebut. Lebih lanjut, sejarah lahirnya sebuah teks atau matan hadits dapat ditempuh dengan jalan-jalan berikut:[4]
*      Dengan terdapat perkataan: awwalu mā kāna kadzā
“Permulaan yang terjadi adalah begini”, seperti pada hadits Aisyah: “permulaan wahyu, yang dengan wahyu itu dimulaikannya kepada Rasulullah adalah mimpi yang benar” (HR. Bukhari Muslim).
*      Dengan disebut lafadz qablu, seperti pada hadits: “adalah Rasulullah menengah kami dengan membelakangi kiblat, atau menghadapinya dengan malu-malu apabila kami membuang air. Kemudian aku melihat Nabi, setahun sebelum beliau wafat, menghadapinya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
*      Dengan perkataan ba’du, seperti pada hadits: “sesungguhnya Jarir telah melihat Nabi mengusap atas khufnya. Maka seseorang bertanya: Apakah sebelum turun surat Al-Maidah atau sesudahnya? Maka Jarir menjawa: Aku tidak memeluk agama Islam melainkan sesudah turun surat Al-Maidah” (HR. Bukhari).
*      Dengan perkataan akhirul amraini (yang terakhir dari dua urusan), seperti pada hadits: “adalah yang terakhir dari dua urusan Rasulullah, ialah tidak berwudlu, karena memakan daging yang disentuh api”. (HR. Abu Daud).
*      Dengan perkataan bi syahrin (dengan sebulan), seperti pada hadits Abdullah ibn Ukaein tentang larangan mengambil manfa’at dari bangkai.
*      Dengan kalimat tahun, seperti pada hadits  Buraidah: “adalah Rasulullah berwudlu buat tiap-tiap shalat, maka pada tahun pengalahan Mekkah berliau bershalat beberapa shalat dengan satu kali wudlu”. (HR. Muslim)
6.      Tokoh Dalam Disiplin Ilmu Tarikh al-Mutun
Salah satu tokoh yang dianggap sebagai mentor dalam disiplin ilmu ini adalah Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amr bin Salar al-Bulqiny. Salah satu kitab beliau yang membahas tentan tema ini yaitu  kitan Mahasinul Ishtilah.

7.      Contoh kerja tarikh al-mutun dalah sebuah matan hadits.
*      Dalam hadits: alā hal ballaghtu? Allahumma isyhad falyuballigh asy-syāhidu minkum al-ghāiba. (Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, persaksikanlah. Maka hendaklah yang hadir di antara kalian ini menyampaikan kepada yang tidak hadir).
Sejarah menceritakan bahwa hadits ini merupakan bagian dari ceramah Rasul ketika Haji Wada’ pada bulan Dzul Hijjah tahun 10 H. Ketika itu Rasul keluar menuju Makkah al-Mukarramah dan berhaji bersama masyarakat. Kemudian beliau memberikan ceramah ketika di Arafah.
Kerja tarikh al-mutun dalam hadits ini adalah berupa upaya mengetahui sejarah tentang kapan Nabi mengeluarkan matan hadits tadi (Haji Wada’ bulan Dzul Hijjah tahun 10 H), serta tempat Nabi menyampaikan matan hadits tersebut (ketika di Arafah).

8.      Urgensi Ilmu Tarikh al-Mutun
*      Mengetahui secara detil kapan dan dimana sebuah matan (redaksi) hadits dikeluarkan oleh Nabi SAW.
*      Berperan dalam kajian nasikh dan mansukh.
*      Menjamin otensitas hadits dengan melihat latar sejarah kemunculan matan.
*      Memperkaya khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam kajian hadits Nabi.
*      Mengetahui cara-cara menyelesaikan problem hadits maqbul yang saling berlawanan.




Referensi:
1.      Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009
2.      Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010
3.      Dr. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
4.      Drs. Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1995
5.      Drs. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2004
6.      Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
7.      Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqiy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang


[1] Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, hal. 36
[2] Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, hal. 28
[3] M. Ajaj Al-Khatib, Ushul Hadits, 57-60
[4] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu, hal. 302

Tidak ada komentar:

Posting Komentar