Makalah Tentang Konsep Sab'atu Ahruf

BAB II
PEMBAHASAN
A.      SEPUTAR SAB’ATU AHRUFIN
1.      Definisi Sab’atu Ahrufin
Dalam kerangka etimologi, para ulama secara umum cenderung berpendapat bahwa kata “tujuh” dalam hadis tentang sab’atu ahrufin tersebut adalah arti tujuh yang sebenarnya, dan bukan arti kiasan. Artinya, tujuh adalah angka yang terletak antara andka enam dan delapan. Sedangkan kata ahruf secara lughawi adalah jamak dari harf yang antara lain berarti pinggir dari sesuatu, salah satu huruf hijaiyah, dan lain-lain.[1]


[1] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 98
Sementara dalam ranah terminologi, Sab’atu ahrufin atau tujuh huruf memiliki variasi definisi dalam pandangan para ulama. As-Suyuti mengatakan bahwa penafsiran ulama tentang makna hadis ini tidak kurang dari empat puluh pendapat.[1] Sedangkan Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat”.[2] Walaupun kenyataannya pendapat-pendapat tersebut saling tumpang tindih. Rekomendasi pendapat para ulama tersebut adalah seperti di bawah ini:
1)      Sab’atu ahrufin adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Dengan catatan, jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan apabila tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.

Akan tetapi mereka juga berbeda pendapat dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut. Dijelaskan bahwa ketujuh bahasa-bahasa tersebut yaitu bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar. Dan masih banyak pendapat yang lain mengenai ini.[3]
2)      Ada satu kaum yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan, dengan catatan bahwa kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Adapun bahasa yang lain yang digunakan adalah bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, atau Yaman; maka secara keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.

Pendapat ini tentunya berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna, melainkan tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an. Abu ‘Ubaid berkata: “Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian lagi bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain.” Dan berkata pula: “Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam al-Qur’an.”[4]
3)      Sebagian lagi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujur huruf adalah tujuh wajah, yaitu amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan masal (perumpamaan). Atau amr. Nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih,  dan amsal.
عن ابن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قا ل: كان الكتاب الاول ينزل من باب واحد, ونزل القرأن من سبعة أبواب, على سبعة أحرف: زجر وأر وحلال وحرام ومحكم ومتشابه وأمثال. (أخرجه الحاكم والبيهقي)
“Dari Ibn Mas’ud, Nabi berkata: ‘Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengna satu huruf. Sedang al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam,  mutasyabih, dan amsal.’”[5]
4)      Ada lagi sebagian ulama yang menawarkan definisi yang lain dari sab’atu ahrufin, yaitu tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan) seperti berikut ini:[6]
a.       Ikhtilaful asma’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, muzakkar, dan cabang-cabangnya, seperti tsaniyah, jamak, dan ta’nis. Contohnya pada firman Allah: والذين هم لآماناتهم وعهدهم راعون[7] , dibaca لأمانتهم  dengan bentuk mufrad dan dibaca pula لآماناتهم dengan bentuk jamak. Sedangkan cantuman dalam mushaf adalah لأمنتهم , yang memungkinkan kedua qiraat tersebut “bekerja” karena tidak adanya alif yang disukun. Akan tetapi, kedua kesimpulan akhir dari kedua qiraat ini adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istiqraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dengan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, yakni semua jenis amanat yang mengandung variasi amanat yang plural.
b.      Perbedaan dari aspek i’rab (harakat akhir kata), seperti firman Allah: ما هذا بشرا.[8] Jumhur membacanya dengan nasab (accusative), karena ما  berfungsi seperti ليس , dan ini merupakan bahasa kaum Hijaz yang dalam bahasa inilah al-Qur’an diturunkan. Adapun Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ (nominative)  ما هذابشرٌ, sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan ما seperti ليس .
c.       Perbedaan dalam tashrif, seperti firman Allah:
(#qä9$s)sù $uZ­/u ôÏè»t/ tû÷üt/ $tRÍ$xÿór&
     Perubahan kata kerja dari masa lampau (فعلٌ ما ضٍ) menjadi masa sekarang (فعل مضارعٌ) dan masa yang akan datang (فعل أمر)  sehingga pada kata باعد dapat dibaca menjadi باعَدَ.
d.      Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf (seperti pada firman-Nya [9]أفَلَم ييأس dapat dibaca dengan أفلم يأيس) maupun dalam kata (seperti firman-Nya [10]فيقتلون ويقتلون dapat dibaca menjadi فيقتلون ويقتلون).
e.       Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian) baik pergantian huruf dengan huruf, maupun lafaz dengan lafaz. Seperti kata ننشزها[11] dapat dibaca menjadi ننشرها.
f.       Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan, seperti وما عملته ايديهم[12] menjadi وما عملت ايدهم.
g.      Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam, dan lain-lain. Contohnya bacaan imalah dan tidak imalah dalam ayat هل أتاك حديث موسى[13] yang dibaca dengan mengimalahkan kata أتي dan مسى.
5.      Sebagian ulama berpendapat bahwa bilangan itu tidak diartikan secara harfiah (bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya lambang sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Oleh karena itu, kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab. Kata tujuh tersebut tidaklah untuk menunjukkan bilangan tertentu.[14]

1.      Hadis Yang Berbicara Tentang Sab’atu Ahrufin
Ada yang berpendapat bahwa qira’at tujuh identik dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.[15] Adapun hadis-hadis yang menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut:
قال رسول الله صلعم : أقرأني جبريل على حروف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى أنتهى إلى سبعة أحرف (روه البخارى ومسلم)
Artinya:
Rasulullah bersabda, “Malaikat Jibril telah membacakan [al-Qur’an] kepadaku atas beberapa huruf, lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan tersebut, maka Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf [macam].”(HR. Bukhari Muslim).

قال رسول الله صلعم : إن هذا القرأن إنزل على سبعة إحرف فقرإوا ما تيسر منه . (روه البخرى و مسلم)
Artinya:
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh  macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadis lain dikatakan, “Rasulullah berkata kepadaku [Ubayy bin Ka’ab] “Hai Ubayy, telah diutus [Jibril] kepadaku untuk membacakan al-Qur’an atas satu huruf, lantas aku meminta kepadanya agar dimudahkan umatku membacanya, maka [Jibril] berkata, bacalah al-Qur’an itu atas dua huruf, lalu aku meminta lagi agar dimudahkan umatku membacanya, maka [Jibril] berkata lagi, bacalah atas tujuh huruf”.”[16]

Dalam sebuah hadis yang panjang juga dijelaskan, dari Umar bin Khattab ia berkata, “Aku mendengar dari Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan bertanya: Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu? Ia menjawab: Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya: Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang aku dengar tadi engkau membacanya (tetapi tidak seperti bacaanmu). Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi wahai Hisyam! Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: Begitulah surah itu diturunkan. Ia berkata lagi: Bacalah, wahai Umar! Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Dan katanya lagi: Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.”[17] Kejadian serupa juga dialami oleh Ubayy bin Ka’ab, dan Umar pada saat itu beranggapan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apapun merupakan bacaan yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi.[18]
Hadis yang berkenaan dengan hal ini sangatlah banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar Tafsir-nya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf.[19] Hadis tentang diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh huruf ini sendiri memiliki kemiripan dengan pendapat kitab Talmud tentang turunnya Taurat dengan banyak bahasa dalam waktu yang sama, namun jelas dia tidak memiliki hubungan sama sekali.[20]

2.      Tarjih Terhadap Variasi Perspektif Mengenai Sab’atu Ahrufin
Manna’ Khalil Qattan telah melakukan tarjih dan analisa terhadap ragam pendapt para ulama mengenai definisi dan beberapa perihal tujuh huruf bacaan al-Qur’an. Runutan pendapat yang paling kuat adalah sebagai berikut:[21]
v  Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, ta’ala, halumma, ‘ajal, dan asra’. Lafaz-lafaz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Ulama-ulama yang memegang pendapat ini antara lain Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb, dan lain-lain.
v  Pendapat yang menyatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara komprehensif tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur’an telah mencakupnya,  dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, di samping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim merupakan orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qira’at keduanya itu berbeda, dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam (namun ternyat Umar mengingkarinya). Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz-lafaz mengenai makna yang sama. Namun hal ini dibantah oleh Ibn Jarir at-Tabari.
v  Ada yang mengatakan bahwa tujuh huruf tersebut adalah tujuh macam hal (makna), yaitu amr, nahyu, halal, haram, mutasyabih, dan masal, dijawab bahwa zahir hadis-hadis tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat manusia, padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram di dalam satu ayat, dan keleluasaan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal, penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
v  Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf.[22] Dapat dijawab, bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan diterima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan  dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama.
v  Pendapat yang menyatakan bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab bahwa nash-nash hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas, seperti pada hadis tentang Jibril yang membacakan al-Qur’an kepada Nabi, jelas bahwa hadis-hadis tersebut menunjukkan hakikat bilangan tertentu yang terbatas pada tujuh.
v  Pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah tujuh qira’at, dapat dijawab bahwa al-Qur’an itu bukanlah qira’at. Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sedangkan qira’at adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafaz wahyu tersebut.

A.    SEPUTAR QIRA’AT
1.      Pengertian
Istilah qira’at berasal dari bahasa Arab قراءات  jamak dari قراءاة , secara etimologi merupakan akar kata (masdar) dari قرأ yang berarti membaca. Jadi lafal قراءات  secara bahasa berkonotasi “beberapa pembacaan”.[23] Sedangkan menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.[24] Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’at berarti: “Suatu aliran dalam melafalkan al-Qur’an yang dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan qira’at tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati”.[25]

Syaikh Abdul Fath al-Qadhy berkata bahwa qira’at adalah ilmu tentang tatacara pengucapan kalimat-kalimat (ayat-ayat) qur’aniyah.[26] Ibn al-Jaziri menegaskan bahwa qira’at ialah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) al-Qur’an dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qira’at sebagai suatu aliran dan tidak pula menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yan dilaluinya.[27] Kedua kriteria yang terakhir merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika kita perhatikan, apabila qira’at diartikan sebagai “suatu aliran”, maka dengan sendirinya tertolaklah anggapan bahwa qira’at tujuh berasal dari hadis Nabi berikut:
هذا القرأن أٌنزل على سبعة أحرف
Adapun ilmu qira’at (yang benar) itu sendiri telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri, merupakan suatu praktik sunnah yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat.[28] Ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa qira’at berkaitan dengan hadis Nabi tentang tujuh huruf tersebut.

2.      Kemunculan dan Perkembangan Qira’at
Mengenai kemunculan qira’at, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:[29]
Ø  Bahwa qira’at muncul (diturunkan) di Mekkah sebelum hijrah. Mereka berargumen bahwa hadis-hadis yang ada menunjukkan hal demikian. Seperti hadis Rasulullah berikut:
قال رسول الله صلعم : أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى أنتهى إلى سبعة أحرف (روه البخارى ومسلم)
Mereka juga berdalil pada hadis yang menceritakan tentang perbedaan Umar dan Hisyam tentang surat al-Furqan. Sedangkan surat al-Furqan adalah surat makiyyah.
Ø  Qira’at diturunkan di Madinah. Mereka berpendapat bahwa perbedaan qira’at diturunkan untuk memudahkan umat, sedangkan kebutuhan aplikasinya hanya bisa diterapkan di Madinah, karena ketika masih di Mekkah umat Islam hanya terdiri dari satu kabilah. Adapun ketika di Madinah, umat Islam terdiri dari beberapa kabilah.
Ø  Pendapat yang ketiga mengkompromikan kedua pendapat sebelumnya. Pendapat ini mengatakan bahwa qira’at awalnya diturunkan di Mekkah berbarengan dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Dalam surat-surat makiyyah ditemukan juga beberapa ragam qira’at. Namun, hal ini belum diaplikasikan ketika di Mekkah karena masih menggunakan satu dialek yaitu dialek Quraisy. Baru ketika di Madinah ragam ini diaplikasikan.
Adapun periodesasi perkembangan qira’at adalah melalui tahapan-tahapan berikut ini:
v  Periode pengajaran qira’at oleh Jibril kepada Rasulullah
v  Periode pengajaran qira’at oleh Rasulullah kepada para sahabat
v  Periode pengajaran qira’at oleh sebagian sahabat kepada sahabat yang lain
v  Periode pengajaran qira’at oleh sahabat kepada para tabi’in
v  Periode para ulama berkosentrasi pada ilmu qira’at
v  Periode kodifikasi ilmu qira’at
v  Periode formalisasi ilmu qira’at
v  Periode penetapan qira’at sab’ah

3.      Sekilas Peta Penyebaran Awal Qira’at
Qira’at ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qira’at) yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubayy, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lain-lain. dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at. Keseluruhannya bersandar kepada Rasulullah.

Az-Zahabi menyebutkan dalam Tabaqatul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at al-Qur’an ada tujuh orang, yaitu: Usman, Ali, Ubayy, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, dan Abu Musa al-Asy’ari. Beliau juga menjelaskan bahwa segolongan besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubayy, di antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas sendiri belajar kepada Zaid.

Kemudian kepada para sahabat itulah menjadi tempat para tabi’in menggali ilmu tentang qira’at. Berikut ini adalah pemetaan para tabi’in yang belajar qira’at berdasarkan tempat mereka bermukim.

Tempat Tinggal
Nama Tabi’in
Madinah
Ibnul Musayyab
‘Urwah
Salim
Umar bin Abdul Aziz
Sulaiman dan Ata’ (keduanya putra Yasar)
Mu’az bin Haris
Abdurrahman bin Hurmuz l-A’raj
Ibn Syihab az-Zuhri
Muslim bin Jundab
Zaid bin Aslam
Mekkah
‘Ubaid bin ‘Umair
‘Ata’ bin Rabah
Tawus
Mujahid
Ikrimah
Ibn Abu Malikah
Kufah
‘Alqamah
Al-Aswad
Masruq
‘Ubaidah
‘Amr bin Syurahbil
Al-Haris bin Qais
‘Amr bin Maimun
Abu Abdurrahman as-Sulami
Sa’id bin Jabir
An-Nakha’i
Asy-Sya’bi
Basrah
Abu ‘Aliyah
Abu Raja’
Nasr bin ‘Asim
Yahya bin Ya’mar
Al-Hasan
Ibn Sirrin
Qatadah
Syam
Al-Mughirah bin Abu Syihab al-Makhzumi
Khalifah bin Sa’d

Kemudian pada permulaan abad pertama Hijriah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang bertekad serta fokus terhadap masalah qira’at secara komprehensif karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Dari generasi mereka dan sesudah mereka muncul tujuh imam qira’at terkenal, yaitu Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, dan Nafi’ bin Abdurrahman (semuanya dari Madinah). Ahli qira’at di Mekkah antara lain Abdullah bin Katsir dan Humaid bin Qais. Di Kufah adalah ‘Ashim bin Abun Najud, Sulaiman al-A’masy, kemudian Hamzah kemudian al-Kisa’i. Di Basrah ada Abdullah ibn Abu Ishaq, Isa ibn ‘Amr, Abu ‘Amr ‘Ala, ‘Asim al-Jahdari, dan Ya’kub al-Hadrami. Sedangkan di Syam adalah Abdullah bin ‘Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris, kemudian Suraih bin Yazid al-Hadrami. Dari banyak imam tersebut, terdapat tujuh imam yang paling terkenal yaitu Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir, dan Ibn Katsir.[30]

4.      Ragam Qira’at
Secara garis besar ada tiga macam qira’at, yaitu qira’at mutawatir, ahad, dan syadzdzah.[31] Namun, pendapat lain sebagaimana As-Suyuti yang menukil dari Ibn al-Jazary, mengatakan bahwa ragam qira’at ditinjau dari segi sanadnya terbagi menjadi enam macam:[32]
1.      Qira’at mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh orang ramai, dari orang ramai, sampai orang terakhir yang mustahil mereka sepakat berdusta seperti qira’at tujuh yang disepakati jalurnya.
2.      Qira’at masyhur, yaitu qira’at yang sahih sanadnya tapi tidak mencapai derajat mutawatir, seperti qira’at tujuh yang tidak disepakati jalurnya.
3.      Qira’at ahad, yaitu qira’at yang sahih sanadnya, tapi menyimpang dari salah satu mushaf Usmani atau kaedah bahasa Arab, atau tidak mencapai derajat masyhur seperti di atas.
4.      Qira’at syadzdzah, yaitu qira’at yang periwayatannya menyimpang dari perawi-perawi yang terpercaya, hingga tak ditemukan qira’at serupa kecuali hanya itu.
5.      Qira’at maudhu’, yaitu qira’at yang palsu, yang dinisbahkan kepada perawinya, tanpa dasar seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i yang menurutnya berasal dari Imam Abu Hanifah.
6.      Qira’at mudraj, yaitu qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah.
Jika diperhatikan lebih jauh, maka kategorisasi dari enam macam qira’at di atas adalah seperti berikut:
*      Qira’at mutawatir adalah qira’at nomor 1.
*      Qira’at ahad adalah nomor 2 dan 3.
*      Qira’at syadzdzah adalah nomor 4, 5, dan 6.

5.      Apakah Qira’at Sab’ah adalah Sab’atu ahrufin?
Banyak ulama yang menyangka bahwa qira’at sab’ah (bacaan yang tujuh) adalah sama dengan sab’atu ahrufin (huruf yang tujuh) tersebut. Namun sebenarnya dua hal ini sangat berbeda. Abu Syammah berkata dalam kitab Al-Mursyid al-Wajiz: “Segolongan orang menyangka bahwa qira’at sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki di dalam hadis. Persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli ilmu.”[33] Pendapat yang mengatakan bahwa sab’atu ahrufin dan qira’at tujuh itu berbeda sejalan dengan definisi Ibn ‘Abdil Barr: “Maksud hadis ini hanhyalah sebagai contoh bagi huruf-huruf yang dengannya Qur’an diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satupun di antaranya yang mempunyai makna yang saling berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain secara kontradiktif dan berlawanan, seperti rahmat yang merupakan lawan dari azab.”[34]

6.      Hikmah Keragaman Qira’at dan Sab’atu Ahrufin
Diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh huruf, yang kemudian berimplikasi kepada timbulnya varian cara baca (qira’at), memiliki beberapa hikmah sebagai berikut:[35]
Ø  Memperkokoh kesatuan ummat.
Dengan diturunkannya al-Qur’an dalam variasi bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka, maka timbul sikap yang menganggap bahwa al-Qur’an bukan hanya milik satu golongan saja, melainkan untuk semua golongan.
Ø  Bukti keagungan al-Qur’an.
Variasi bacaan dalam al-Qur’an bukan merupakan penyebab yang dapat menghancurkannya, namun kenyataan yang terjadi adalah justru semakin jelas dan kaya. Ini adalah bukti bahwa al-Qur’an sangat agung sekaligus bukti kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri.
Ø  Memberikan kelegaan pada umat.
Ø  Ibadah dalam Islam sangatlah mudah.
Dengan keragaman bacaan tersebut, maka mereka diberi keleluasaan dalam membaca kitab suci mereka, karena tidak dipaksa untuk membaca satu qira’at tertentu.
Lebih jauh, Imam al-Jazary merekomendasikan secara terperinci hikmah-hikmah keragaman qira’at:[36]
1)      Merupakan indikasi mutlak bahwa al-Qur’an adalah benar-benar firman Allah. Bukti yang menguatkan hal ini adalah ketiadaan kontradiksi dalam beberapa hal yang berbeda-beda. Berdasarkan firman Allah:
Ÿxsùr& tbr㍭/ytFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã ÎŽöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 ÇÑËÈ
2)      Merupakan bukti yang kuat atas kebenaran Rasulullah SAW.
3)      Mengindikasikan keagungan umat Islam. Letak keagungannya terdapat pada sikap mufakat mereka terhadap al-Qur’an yang turun dengan “huruf-huruf” yang berbeda.
4)      Menunjukkan bahwa kitab Allah terpelihara dari penyimpangan.
5)      Hikmah yang paling agung adalah mempermudah umat dalam urusan qira’at dan meringankan umat dalam hal ini.

Selain itu, variasi qira’at juga bermanfaat sebagai penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain. Qira’at yang beragam tersebut juga semakin memperkaya khazanah keislaman.[37]








DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, M. M., The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Complication, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (terj.), Jakarta: Litera AntarNusa, 2007
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman, ‘Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Membahas Ilmu-Ilmu Pokok Dalam Menafsirkan al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010
As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.), Surakarta: Indiva Pustaka, 2008
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010
As-Sindiy, Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-Imdariyah, 2001


[1] Al-Itqan, jilid 1, hal. 45
[2] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 229
[3] Lihat al-Itqan, jilid I, hal. 47
[4] al-Itqan, jilid I, hal. 47
[5] Hadis riwayat Hakim dan Baihaki
[6] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, lihat juga dalam Prof. Dr. Nashruddi Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal. 100
[7] Surat al-Mukminun ayat 8
[8] QS. Yusuf (12:31)
[9] QS. Ar-Ra’d ayat 31
[10] Surat at-Taubah ayat 111
[11] QS. Al-Baqarah ayat 259
[12] QS. Yasin ayat 35
[13] QS. Thaha ayat 9
[14] Lihat juga al-Itqan, jilid I hal. 45
[15] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 93
[16] HR. Muslim
[17] HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Tirmizi, Ahmad, dan Ibn Jarir
[18] Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation To Complication, Jakarta: Gema Insani Pers, 2005, terj. hal. 168
[19] Lihat al-Itqan, jilid I hal. 41
[20] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ, terj. 2010, hal. 55
[21] Untuk dalil-dalil yang dijadikan argumen oleh pendapat-pendapat ini silahkan lihat Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 234-244
[22] Pendapat ini didukung oleh ar-Razi, Syaikh Muhammad Bakhit al-Muti’i, dan Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani dari kalangan muta’akhirin.
[23] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 92
[24] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 247
[25] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, hal. 412
[26] Dr. Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur As-Sindiy, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-Imdariyah, hal. 15
[27] Seperti dikutip oleh al-Zarqani dalam kitab Munjid al-Muqriin
[28] Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text, hal. 168
[29] Dr. Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur As-Sindiy, Shofahat fi Ulumil Qiroat, 21-23
[30] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 248
[31] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 106
[32] Prof. Hasby ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hal. 140-141
[33] Prof. Hasby ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 127
[34] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 235
[35] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 114-115
[36] Dr. Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur As-Sindiy, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-Imdariyah, hal. 112-115
[37] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 258-259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar